Kemerdekaan Indonesia, Refleksi yang Selalu Berulang
Kemerdekaan Indonesia yang telah menginjak usia ke-67 di tahun 2012 ini seharusnya sudah mampu membawa bangsa dan rakyat Indonesia ke jenjang kedewasaan dan kemajuan. Jika memakai analogi kehidupan manusia, tahun ke-67 tentunya menjadi umur yang sudah tidak muda lagi, bahkan telah beranjak renta sebelum akhirnya mati dimakan usia.
Bagi bangsa ini, semakin bertambahnya usia kemerdekaan justru semakin rumit persoalan yang dihadapi dan cara mengatasinya. Alih-alih bertambah dewasa dan menuai kemajuan, bangsa Indonesia seolah mundur jauh ke belakang dengan segala problema dan kebobrokan justru yang semakin menjadi-jadi.
Berbagai persoalan, fisik maupun mental, kian mendera bangsa ini. Korupsi yang semakin subur, kelakuan pejabat yang semakin bejat, kondisi politik yang penuh intrik, bahkan hingga urusan sepakbola pun menjadi ajang pertarungan nafsu demi kepentingan pribadi. Intinya, nyaris seluruh lini kehidupan di negeri ini tampaknya sudah tidak berada di jalur yang benar.
Kasus korupsi masih saja menjadi primadona yang tak lekang untuk dibahas lantaran selalu ada dan terus berulang. Bahkan, pilar-pilar yang seharusnya berperan penting bagi penegakan hukum dan moral di Indonesia justru menjadi biang praktek penggelapan uang rakyat.
Yang terbaru dan paling menghebohkan tentu saja kasus korupsi pengadaan Alquran yang melibatkan oknum pejabat di Departemen Agama RI dan perkara korupsi simulator SIM yang menyeret nama jenderal di jajaran Kepolisan.
Apa jadinya negara ini jika pengampu urusan agama dan institusi penegak hukum justru telah menjual harga diri serta mengabaikan hakikat mereka sebagai penyangga tegaknya moral bangsa?
Begitu pula dengan penyelewengan yang terjadi di Kejaksaan Agung, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan seabrek departemen di pemerintahan, juga rentetan kasus memalukan lainnya, yang sudah membudayakan korupsi sebagai hal yang seolah-olah dinilai wajar dan dianggap enteng.
Belum lagi kondisi politik yang kian lama justru semakin jauh dari ideal dan cenderung berwajah kotor. Segala cara digunakan untuk melanggengkan kekuasaan dan menghabisi lawan-lawan politiknya. Janji-janji surga pun ditebar untuk membangun simpati rakyat sebelum kemudian diingkari lagi jika sudah berhasil duduk nyaman di kursi empuk kekuasaan.
Dengan wajah buram seperti ini, lama-kelamaan rakyat Indonesia akan benar-benar kehilangan kepercayaan. Seharusnya, di hari kemerdekaan Indonesia yang ke-67 ini, semua pihak bisa merenung dan kemudian bertindak lebih baik lagi. Namun bukan sekadar perenungan pepesan kosong, bukan refleksi tanpa tujuan yang diulang-ulang setiap tahun tanpa ada perbaikan.
Mungkin, siklus kehidupan manusia bisa menjadi pelajaran dan penggambaran bagi negeri ini. Dari usia bocah, remaja, dewasa, tua, hingga kembali menjadi kekanak-kanakan lagi sebelum ajal menjemput.
Saat ini, Indonesia sudah berada di fase kembali ke sifat bocah kendati usianya telah beranjak renta. Lantas, apakah yang akan terjadi selanjutnya? Berdasarkan siklus hidup manusia, tahap yang berikutnya adalah mati dan lantas hancur di dalam kubur!
Tentunya semua elemen bangsa ini harus benar-benar menyadari bahwa hanya kita yang akan mampu menyelamatkan Indonesia dari kematian atau kehancuran. Dirgahayu Republik Indonesia!